MODERATOR AIDC

AIDC NORA ZEK LADY
FAIZAL OM 300 QASEH
UDIN KMBG GLORY CKIAH
DRASEREMANG PISAU ABU

PANAS! DI AIDC GROUP

Anwar, International Crisis Group & Annapolis Summit : Klik di sini


NOTIS

Sesiapa yang mempunyai salinan pita rakaman mesyuarat MT berkenaan pemecatan Anwar pada tahun 1998, diharap dapat menghubungi saya via ym aidceditor atau email aidceditor@yahoo.com

3 Mei 2009

Raden Kartini tokoh Islam Liberal projek orientalis




Oleh Adian Husaini

Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan selain Kartini ?

Sesuatu yang menarik dalam Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk akhbar yang membahas tema utama tentang Kesamarataan Gender (jantina), terdapat tulisan sejarawan Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan pengajian bidang sejarah di Universiti Indonesia ini bertanya: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak dinobatkan dan diteladani dibandingkan dengan Kartini?

Menjelang 21 April 2009 ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar itu. Tentu saja, pertanyaan bernada cabaran seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan.

Pada tahun 1970-an, di saat pemerintahan Orde Baru, pengetua Universiti Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah membangkitkan masalah ini.

Dia mengkritik 'pengkultusan'(pendewaan) R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku bertajuk "Satu Abad Kartini (1879-1979)", (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis satu artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”.

Tulisan ini bernada cabaran terhadap ketokohan Kartini. “Kita mengambil Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan pengajian kedoktoran sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga mencabar secara halus, mengapa mesti Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Dia menyatakan terdapat dua watak wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia.

Sultanah Tajul Alam Safiatuddin dan Siti Aisyah We Tenriolle lebih kaliber

Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.

Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak termasuk dalam buku "Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia" (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan rasmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Sudah tentu Kartini termasuk dalam buku tersebut. Padahal, menurut Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa.




Sultanah Safiatudin dikenal sebagai wanita yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Parsi, Sepanyol dan Urdu.

Pada masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Dia juga berhasil membendung usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC (syarikat Belanda) pun tidak berjaya memperolehi monopoli perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh sangat lama, iaitu 1644-1675. Dia terkenal dalam memajukan pendidikan, sama ada untuk lelaki maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya terkenal sebagai ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusasteraan.

B.F. Matthes, dari Belanda yang pakar dalam sejarah Sulawesi Selatan, mengakui telah mendapat manfaat yang besar dari sebuah karya epik La-Galigo, mencakupi lebih dari 7000 halaman. Ikhtisar epik besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle.

Pada tahun 1908, wanita ini menubuhkan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka untuk anak-anak lelaki dan wanita.


Kaitan Kartini, Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon

Dari atas,Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon. Foto bawah Kartini tiga bersaudara


Sorotan Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap ketokohan Kartini akhirnya menemukan bukti, bahawa Kartini memang dipilih oleh Belanda untuk ditampilkan sebagai pertiwi kemajuan wanita peribumi di Indonesia.

Surat antara Raden Kartini (kiri) dan J.H. Abendanon (kanan)


Pada awalnya, Kartini berkenalan dengan Asisten-Residen Ovink suami isteri. Sebelum itu, seorang misinori Kristian Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Hindia Belanda, telah memberi panduan kepada J.H. Abendanon, Pengarah Jabatan Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar bertemu dan memberikan perhatian kepada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi seperti penaja kepada Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, isteri Gabenor Jeneral, dalam suatu majlis di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat memberi kesan kepada kedua belah pihak.”

Kartini kemudiannya berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang aktivis wanita gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP).

Wanita Belanda ini kemudian mengajar Kartini kepada pelbagai idea modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.

Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan C.Th. van Deventer (penganjur “Haluan Etika”) adalah pihak yang bertanggungjawab menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Belanda projekkan imej Kartini

Setelah lebih enam tahun wafatnya Kartini (ketika berumur 25 tahun), pada tahun 1911, Abendanon telah menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan tajuk "Door Duisternis tot Lich".

Kemudian diterbitkan pula edisi bahasa Inggeris berjudul "Letters of a Javaness Princess".

Beberapa tahun kemudian, diterbitkan terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" : Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain telah mengadakan usaha pengumpulan dana untuk membolehkan pembiayaan sekolah-sekolah di Jawa Tengah.

Pada 27 Jun 1913, ditubuhkan Komiti Kartini Fonds, yang diketuai oleh C.Th. van Deventer.

Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta idea - ideanya kepada masyarakat di Belanda.

Harsja Bachtriar kemudian mencatatkan: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan Kartini, hampir tidak mengenalinya jika orang-orang Belanda tidak menampilkannya ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan mahupun tindakan-tindakan mereka.”

Kerana itulah, Pengetua Universiti Indonesia itu telah membuat kesimpulan : “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja menyeru agar maklumat tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat diteroka seluas - luasnya, sehingga menjadi teladan kepada orang ramai.

Ini secara halus berusaha untuk meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, ternyata dalam pelbagai wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahawa wanita-wanita kita lebih hebat daripada sebelumnya, tanpa memperkecilkan penghargaan kita pada RA Kartini.”


Kenapa ramai tokoh wanita dipinggirkan Belanda ?

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut beberapa tokoh wanita yang sangat layak dinobatkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan).

Dua wanita ini, idea mereka secara sengaja dipinggirkan. Walhal apa yang mereka lakukan lebih daripada apa yang dilakukan oleh Kartini. Berikut ini catatan tentang dua tokoh wanita itu, seperti yang dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita, bahkan berjaya mendirikan sekolah dinamakan 'Sakolah Kautamaan Isteri' (1910) yang ditubuhkan di pelbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.

Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan 'Sekolah Kerajinan Amal Setia' (1911) dan 'Rohana School' (1916), dia juga menjadi jurnalis bermula di Koto Gadang dan berpindah ke Medan. Dia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan idea-ideanya dalam bentuk surat, tetapi mereka sudah lebih jauh melangkah ke hadapan: mewujudkan idea-idea dalam tindakan yang nyata.

Jika Kartini diperkenalkan oleh Abendanon yang membantu menerbitkan surat-suratnya, Rohana pula menyebarkan ideanya secara langsung melalui akhbar-akhbar yang dia terbitkan sendiri sejak dari 'Sunting Melayu' (Koto Gadang, 1912), 'Wanita Bergerak' (Padang), 'Radio' (padang), hingga 'Cahaya Sumatera' (Medan).

Bahkan kalau diikuti kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, dakwaan terpinggirnya kaum wanita di negeri ketika Kartini masih hidup adalah tidak benar.

Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang, dia juga adalah seorang ulama wanita.

Di Aceh, kisah wanita terlibat dalam medan peperangan atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh.

Bahkan sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia lagi, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut Wanita pertama, iaitu Malahayati.

Jadi, alangkah baiknya bangsa Indonesia boleh berfikir lebih rasional: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus ? Mengapa bukan Cut Nyak Dien?

Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti jejak itu?

Cut Nyak Dien tidak pernah tunduk kepada Belanda. Dia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda di negeri ini.

Meskipun aktif di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas.

“Berputarnya zaman tidak pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sihat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan dipenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitulah kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, ketokohan Kartini tidak terlepas daripada peranan Belanda.


Snouck Hurgronje musuh Islam

Harsja W. Bachtiar turut menyentuh peranan Snouck Hurgronje dalam rangkaian memprojekkan imej Kartini. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kepandaian sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara.

Snouck Hurgronye alias 'Abdul Ghafar Al Holandi'seorang orientalis Belanda yang menyamar menjadi Islam



Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya usaha yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecilkan peranan Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, "Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu" ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis:


“Kecenderungan ke arah memperkecilkan peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir kesemua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh dengan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak menghairankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai sekarang ini.”


Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje?

Dalam surat - surat Kartini kepada Ny. Abendanon, dia memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Semakin jelas, Kartini melihat orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam.

Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon pada 18 Februari 1902, Kartini menulis:


”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil baligh seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri bertanya terus kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).


Melalui bukunya, 'Snouck Hurgronje en Islam' (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul "Snouck Hurgronje dan Islam", tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan watak dan pemikiran Snouck Hurgronje dalam usaha membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’.

Mengikuti kaedah yang pernah dilakukan oleh orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang pernah menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kaherah, sehingga Snouck merasakan perlu untuk menzahirkan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengguna nama Abdul Ghaffar. Dengan itu dia boleh diterima menjadi murid para ulama Mekkah.

Kedudukan dan pengalamannya itu memudahkan perancangannya untuk menembusi daerah-daerah Muslim di pelbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial faham benar strategi Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim.

Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”.

Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun sesuai untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah penasihat kepada pejabat voor Inlandsche zaken pada tahun 1899-1906. Pejabat inilah yang bertugas memberikan nasihat kepada pemerintah kolonial dalam masalah peribumi.

Dalam bukunya, "Politik Islam Hindia Belanda", (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar berkenaan pemikiran dan nasihat-nasihat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda.

Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elit peribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan peribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudahkan mereka dipertemukan dengan pemerintahan Eropah.

Snouck optimis, ramai muslim akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan melalui campuran pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda.

Dalam perlumbaan bersaing melawan Islam itu akan dipastikan bahawa asosiasi kebudayaan dengan bantuan pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristianisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menakluk Islam di Indonesia:

“Terhadap daerah yang Islamnya kuat seperti Aceh, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristianisasi. Untuk menghadapi Islam dia cenderung memilih jalan halus, iaitu dengan menyalurkan semangat mereka ke arah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang ini masih digunakan untuk ‘menakluk’ Islam.

Bahkan, jika kita halusi, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘peribumi Muslim’ sudah muncul. Biasanya, bermula dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan terpesona dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – secara langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat.

Tentu, sangat ironis, jika ada yang masih tidak sedar, bahawa yang mereka lakukan adalah merosak Islam, dan pada saat yang sama merasa telah berbuat kebaikan.

[Depok, 20 April 2009/hidayatullah]

AIDC menterjemah artikel Adian Husaini, swaramuslim.net. Artikel asal swaramuslim.net">klik di sini

1 ulasan:

AntiPemodalBesar berkata...

tidak ramai yang sedar bahawa masalah umat Islam nusantara bermula bilamana ulama penipu seperti Haji Abdul Ghaffur atau Snouck Hurgronje pukimak nie diangkat oleh orang Acheh sebagai mufti kita yang sangat naif tentang Islam. hanya tinggal ritual Islam dan segala ilmu pendidkan Islam tidak sampai. seorang ustaz hanya perlu mengetahui ilmu untuk berjumpa Allah bukan ilmu keduniaan. Inilah petaka besar yang menimpa umat Melayu yang jauh dari disiplin ilmu yang bertunjangkan Al Quran dan Hadis.

Pihak British pun telah mengimplemen kan hasil penemuan Snouck seperti penubuhan sekolah Inggeris dan sekolah elit MCKK, TKC, untuk melahirkan pemimpin elit tradisional Melayu yang berpendidkan Barat dan tidak mempunyai disiplin yang kuat dalam keilmuan Islam... Islam cuba dianggap sebagai kolot, ketinggalan zaman dan sebagainya..